Siang itu, Desa Jatimekar, Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta dipeluk awan kelabu. Angin dari Waduk Jatiluhur berhembus dingin, membawa aroma tanah basah. Di dalam sebuah rumah di Komplek PJT II Blok D, Dea Permata Karisma (27) tidak tahu bahwa jam hidupnya sedang berdetak menuju angka nol.
Ancaman sudah mengintai sejak lama. Cat merah dilempar ke dinding rumahnya—warnanya mirip darah yang kini membeku di lantai. Pintu pernah dibobol, pesan WhatsApp berisi janji kematian memenuhi ponselnya. Semua itu sudah diteriakkan kepada Babinsa hingga Polsek Jatiluhur. Tetapi… tak pernah ada yang datang.
Ancaman yang seharusnya dihalau, dibiarkan menggantung di udara, menunggu hari kelam itu tiba. Disaat itu, seolah kematian itu bukan ancaman… melainkan janji yang hanya menunggu tanggal.
Menjelang siang, tetangganya, Salbiah, melihat Dea buru-buru menghabiskan makan siang.
“Buru-buru, mau hujan. Jemuran banyak,” katanya ringan. Tidak ada tanda bahaya, hanya normalitas yang rapuh.
Beberapa jam kemudian, teriakan pecah di udara. Lelaki kurus berkaos biru-putih berlari keluar rumah, matanya liar.
"Ibu-ibu! Bu, Dea dibunuh!" suaranya memecah hujan yang mulai turun.
Warga mendekat. Pintu dapur terbuka. Dari celah itu, darah mengalir pelan di atas lantai keramik putih, membentuk garis tipis yang menjalar ke kaki mereka. Ada jejak telapak kaki, bekas menginjak genangan merah segar, mengarah ke ruang dalam.
Di ruang tengah, tubuh Dea terkapar. Matanya terbuka lebar, seperti membeku pada momen terakhir saat nyawanya direnggut. Mulutnya sedikit terbuka, seakan masih berusaha menghirup udara yang tak lagi masuk ke paru-parunya. Darah keluar dari luka tusuk yang mengoyak dagingnya, mengalir ke celah lantai, menetes perlahan seperti jam pasir yang mengukur sisa hidupnya.
Ironi paling kejam terungkap cepat: pembunuhnya adalah Ade Mulyana (26), lelaki kurus yang tadi berteriak paling histeris. Asisten rumah tangga yang sudah dianggap keluarga. Orang yang diberi makan, tempat tinggal, bahkan rokok… justru yang menghabisi. Ade tidak melarikan diri. Ia hanya berdiri di sana, di rumah yang baru saja ia basahi dengan darah orang yang memberinya penghidupan.
Ibu korban, Yuli Ismawati, nyaris tidak bisa menerima kenyataan itu.
"Orang yang dikasih makan… malah bunuh anak saya," suaranya patah, namun di dalamnya ada amarah yang menggeram.
Kini rumah itu sunyi. CCTV yang dipasang demi keamanan hanya menjadi saksi bisu yang tak pernah memberi peringatan cukup keras. Di luar, hujan terus turun, membasuh tanah di halaman… tetapi tidak akan pernah membasuh jejak darah yang telah menghitam di hati mereka yang menyaksikan.
Karena di Jatimekar, semua orang kini tahu: pengkhianatan paling mematikan datang dari orang yang paling kau percayai… dan ketika ia menusuk, ia menusuk tepat di saat kau tak siap membuka mata.