Pembantaian Massal di Sudan: Kota El-Fasher Berubah Jadi Neraka Dunia, 2000 Orang Tewas

REKAMAN VIDEO: 
https://gofile.io/d/y0py5U
*Jika saat di klik mengarah ke situs lain, langsung klik kembali (back) lalu klik ulang linknya untuk melihat video tanpa sensor*


SUDAN — Dalam tiga hari penuh darah, sebanyak 1.500 warga sipil Sudan tewas menyusul penguasaan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) atas kota El-Fasher, benteng terakhir militer Sudan di wilayah Darfur, Minggu (26/10/2025).

Tragedi ini menandai eskalasi paling mengerikan dalam perang saudara yang telah mencabik negeri itu selama dua tahun terakhir.

Menurut laporan Al Jazeera dan Jaringan Dokter Sudan (SDN), ribuan warga sipil dibantai saat mencoba melarikan diri dari kota yang terkepung. Kelompok medis tersebut menggambarkan situasi itu sebagai “genosida nyata di depan mata dunia.”

“Pembantaian ini adalah perpanjangan dari apa yang terjadi lebih dari satu setengah tahun lalu — ketika lebih dari 14.000 warga sipil terbunuh akibat pemboman, kelaparan, dan eksekusi di luar hukum,”
ujar SDN dalam pernyataannya.

Citra satelit yang dianalisis oleh Humanitarian Research Lab Yale menunjukkan area berwarna merah luas dan kumpulan objek berukuran tubuh manusia — indikasi kuat adanya kuburan massal dan pembunuhan skala besar di sekitar El-Fasher.


Rumah Sakit Jadi Lokasi Eksekusi

Video mengerikan beredar di media sosial memperlihatkan para pejuang RSF menembaki warga sipil yang mencoba melarikan diri, bahkan mengeksekusi pasien di dalam Rumah Sakit Saudi, satu-satunya fasilitas kesehatan besar yang tersisa di kota itu.
Lebih dari 460 orang tewas di rumah sakit tersebut, termasuk pasien, dokter, dan tenaga medis.

“Mereka membunuh semua orang yang mereka temukan di bangsal rumah sakit,” kata SDN.
“Itu dilakukan dengan darah dingin.”

Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO, menyebut laporan tersebut sebagai “mengerikan dan tak terbayangkan.”


Laporan Kekejaman: Eksekusi, Perkosaan, dan Penyiksaan

Para penyintas menggambarkan kekejaman RSF sebagai neraka yang hidup.

“Janjaweed tidak menunjukkan belas kasihan kepada siapa pun,” ujar Umm Amena, seorang ibu empat anak yang berhasil melarikan diri dari El-Fasher.

Kesaksian lain menyebutkan warga disiksa, dipukul, dan ditembak hanya karena lambat melarikan diri.
Perempuan dan anak-anak diperkosa secara brutal.
Beberapa penyandang disabilitas ditembak mati di tempat karena tak mampu bergerak cepat.

“Itu seperti ladang pembantaian,” kata Tajal-Rahman, seorang saksi.
“Mayat di mana-mana, dan tak ada yang membantu mereka.”


Kota yang Hilang dan Bangsa yang Retak

Dengan jatuhnya El-Fasher, RSF hampir menguasai seluruh wilayah Darfur, menghapus sisa kekuatan militer Sudan di barat negara itu.
Pemerintah Sudan melaporkan lebih dari 2.000 warga sipil tewas selama penyerangan, sementara puluhan ribu lainnya mengungsi ke kota Tawila dan wilayah pedesaan.

Doctors Without Borders melaporkan lonjakan pasien luka tembak dan bom, serta banyak anak-anak yang datang tanpa keluarga — yatim piatu akibat pembantaian.


Akar Konflik: Perang Dua Jenderal

Tragedi ini berakar dari perebutan kekuasaan antara dua jenderal kuat Sudan:

  • Abdel Fattah al-Burhan, pemimpin militer Sudan (SAF), dan

  • Muhammad Hamdan Dagalo alias Hemedti, komandan RSF, penerus milisi Janjaweed yang dikenal kejam di masa konflik Darfur.

Konflik ini bermula setelah jatuhnya diktator Omar al-Bashir pada 2019, yang memicu perebutan pengaruh antara faksi militer, sipil, dan kepentingan asing.

Perang yang kini melanda Sudan berakar dari perebutan kekuasaan antara dua kekuatan militer utama di negeri Afrika itu: Angkatan Bersenjata Sudan (Sudanese Armed Forces/SAF) dan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF).

SAF dipimpin oleh Panglima Militer Abdel Fattah al-Burhan, sedangkan RSF berada di bawah komando Mohamed Hamdan Dagalo, atau yang lebih dikenal sebagai Hemedti. Kedua tokoh ini dulunya merupakan sekutu yang sama-sama menggulingkan rezim lama Omar al-Bashir pada tahun 2019, namun kini berubah menjadi rival mematikan dalam perebutan kekuasaan.

RSF sendiri dibentuk pada tahun 2013 oleh Bashir untuk menumpas pemberontakan di wilayah pedalaman Sudan. Pasukan ini berakar dari milisi Janjaweed — kelompok yang dituduh melakukan kejahatan perang dan pembersihan etnis di Darfur pada awal 2000-an. Dalam perkembangannya, RSF tumbuh menjadi kekuatan militer besar dengan sumber daya dan persenjataan yang mumpuni, bahkan menyaingi militer resmi Sudan (SAF).

Ketegangan antara kedua pihak semakin meningkat ketika pemerintah transisi Sudan berencana mengintegrasikan RSF ke dalam SAF sebagai bagian dari langkah menuju pemerintahan sipil pada akhir 2022. Namun Hemedti menolak keras rencana itu, khawatir kehilangan pengaruh dan kendali atas pasukannya.

Penolakan tersebut menjadi pemicu perang terbuka yang pecah pada 15 April 2023 di ibu kota Khartoum. Dalam hitungan hari, pertempuran meluas ke berbagai wilayah seperti Darfur, Kordofan, dan kota-kota besar lainnya.

Sejak saat itu, Sudan terjerumus dalam konflik berdarah yang menewaskan puluhan ribu orang dan memaksa jutaan lainnya mengungsi. Insiden terbaru di El-Fasher, di mana ribuan warga sipil tewas dalam waktu singkat, menjadi simbol betapa mengerikannya perang dua tahun antara SAF dan RSF — sebuah pertikaian yang kini telah berubah menjadi bencana kemanusiaan terburuk dalam sejarah modern Sudan.

Sudan di Ambang Kiamat

Lebih dari 40.000 orang tewas, 14 juta mengungsi, dan kota-kota besar hancur menjadi puing.
Sudan — negara terbesar ketiga di Afrika — kini terancam terbelah kembali, seperti saat pemisahan Sudan Selatan 15 tahun lalu.

El-Fasher hanyalah satu dari sekian banyak kota yang menjadi kuburan massal hidup akibat ambisi politik dan intervensi global.

“Dunia sedang menyaksikan genosida yang nyata,” ujar seorang dokter dari Darfur.
“Tapi dunia diam.”


Sumber: republika, antara

About the author

CREEPY ROOM
Membahas informasi tentang kejadian kriminal, tragedi, dan berbagai macam peristiwa mengerikan yang terjadi di seluruh dunia.

Posting Komentar